search:
|
PinNews

Sri Mulyani dan Perry Warjiyo Sampaikan Kabar Buruk Ekonomi Global di Masa Depan

Fariz Agung Prasetya/ Sabtu, 08 Jun 2024 02:30 WIB
Sri Mulyani dan Perry Warjiyo Sampaikan Kabar Buruk Ekonomi Global di Masa Depan

Saat Sri Mulyani dan Perry berpidato di Badan Anggaran DPR pada Selasa (4/6/2024), dan di Komisi XI DPR pada Rabu (5/6/2024), mereka mengungkapkan prediksi yang buruk tentang masa depan. Foto: Bank Indonesia


PINUSI.COM - Selama dua hari terakhir, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, terlihat sangat ramah saat membahas rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, bersama DPR.

Mereka berdua menyampaikan tentang keadaan ekonomi global yang buruk, yang mungkin bertahan lama.

Saat Sri Mulyani dan Perry berpidato di Badan Anggaran DPR pada Selasa (4/6/2024), dan di Komisi XI DPR pada Rabu (5/6/2024), mereka mengungkapkan prediksi yang buruk tentang masa depan.

Untuk menyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk anggaran pemerintahan yang akan datang, Sri Mulyani menjelaskan kondisi perekonomian global pada dua kesempatan berbeda.

Selain itu, Perry Warjiyo memberikan komentarnya tentang perkembangan global terbaru, yang dapat memengaruhi perekonomian Indonesia di masa depan.

Berikut ini beberapa komentar Perry dan Sri Mulyani tentang kondisi perekonomian di masa depan.

Sampai 2025, Ekonomi Tidak Pasti

Ketidakpastian ekonomi masih tinggi, menurut Bank Indonesia (BI), dimulai dengan perekonomian global yang diperkirakan tumbuh 3,1% tahun ini.

"Ekonomi global tahun depan itu juga masih tidak pasti," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (4/6/2024)

Meskipun banyak negara telah menaikkan suku bunga acuan mereka, sulit untuk turun ke level yang aman, karena inflasi global terus meningkat.

Perry menyebutkan, Federal Reserve Bank Amerika Serikat (Fed) mungkin baru akan menurunkan suku bunga acuan pada akhir tahun ini.

"Ini membuat ketidakpastian kenapa DXY masih sangat kuat," jelasnya.

Dia mengatakan, suku bunga obligasi Pemerintah AS yang tinggi karena inflasi dan tingginya utang, bisa berdampak terhadap penerbitan surat utang Pemerintah Indonesia.

"Itu akan berdampak ke ekonomi Indonesia, kita harus kerja keras untuk tumbuhkan suatu pertumbuhan kita," kata Perry.

Kurs Rupiah pada 2025

BI memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak menguat ke depan.

Perry memperkirakan, hingga akhir tahun ini, rupiah akan bergerak pada level 15.700–16.100/US$.

Saat ini, posisi dolar AS berada di antara Rp16.100-Rp16.200.

"Kami perkirakan rupiah akan bergerak stabil dan menguat, terutama karena kenaikan BI rate kemarin, premis risiko menurun dan prospek ekonomi yang baik dan imbal hasil menarik," beber Perry.

Perry menjelaskan, arus modal asing mulai kembali masuk, dan rupiah mengalami apresiasi, setelah BI menaikkan suku bunga acuan menjadi 6,25% pada April 2024.

Ini terjadi, meskipun tren rupiah melemah dibandingkan akhir 2023.

"Alhamdulillah arus modal asing kembali, dan upaya stabilisasi yang kami lakukan untuk nilai tukar cukup bagus," paparnya.

Perang Perdagangan

Dalam proyeksinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan investasi pada 2025 pada kisaran 5,2% hingga 5,9% per tahun (yoy).

Namun, Sri Mulyani mengingatkan beberapa risiko yang akan menghantui investasi Indonesia pada tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pertama, pergerakan suku bunga global yang lebih tinggi, atau suku bunga tinggi yang ditahan untuk waktu yang lama, akan memengaruhi kinerja investasi.

Kedua, ketegangan geopolitik yang dapat memecah investasi dan perdagangan. Lalu, perubahan iklim.

"Potensi disrupsi termasuk climate change tentu akan pengaruhi aktivitas investasi pada 2025, yang menurut kami pertumbuhannya ada pada 5,2-5,9%," katanya.

Dalam kesempatan lain, Sri Mulyani menyatakan, ancaman perang dagang saat ini sangat signifikan, karena eskalasinya yang luar biasa.

"Dilihat dari restriksi dagang, yang dilakukan atau diberlakukan antar-negara, antara blok di Amerika dan RRT," jelasnya.

Menurut Sri Mulyani, hanya ada 982 restriksi perdagangan baru yang diberlakukan pada 2019.

Jumlah ini naik menjadi 2.491 pada 2022, dan kemudian menjadi 3.000.

Salah satu contohnya adalah Pemerintah AS memberlakukan tarif pada mobil listrik Cina.

"Dan nilainya enggak kaleng-kaleng, kalau seperti tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Biden ke produk Electric Vehicle, Cina itu 4 kali lipatnya, artinya mencapai 100%," beber Sri.

Dia berpendapat, tren kebijakan ini akan menyebabkan disrupsi ekonomi.

Di sisi lain, dia menjelaskan dunia sekarang semakin banyak mengadopsi kebijakan industri, meskipun sebelumnya kebijakan seperti ini dianggap tidak pantas.

"Negara memberlakukan industrial policy untuk men-secure (mengamankan) ekonomi dan industrinya masing-masing," papar Sri Mulyani.

Inflasi

Sri Mulyani menyatakan, kondisi global semakin sulit.

Banyak masalah baru muncul dan lebih sulit daripada yang pernah dihadapi banyak negara sebelumnya, termasuk Indonesia.

"Kami sudah sampaikan, lingkungan global masih dinamis dan tantangannya makin tinggi," ungkap Sri Mulyani.

Dia menyatakan, salah satu tantangan tersebut adalah inflasi.

Dia menyatakan, inflasi yang sangat tinggi terjadi di beberapa negara maju, yang memaksa penerapan kebijakan suku bunga acuan tinggi untuk waktu yang lama.

"Implikasi dari kebijakan di negara-negara maju untuk respons inflasi tinggi likuiditas ketat dan suku bunga meningkat, sebabkan tekanan capital outflow dan menimbulkan biaya utang atau cost of borrowing yang meningkat."

"Ini dialami semua negara, baik di mana mereka menaikkan suku bunga seperti di AS dan Eropa, maupun spillover dunia."

"Jadi ini lingkungan ekonomi global yang langsung pengaruhi ekonomi nasional dan APBN," imbuh Sri Mulyani. (*)



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: Fariz Agung Prasetya

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook