PINUSI.COM - Sebuah tren aneh sedang mendapatkan momentum di Korea Selatan, di mana orang dewasa beralih ke batu peliharaan, sebagai obat untuk mengatasi kesepian dan kelelahan di tempat kerja.
Apa yang pernah menjadi bahan lelucon baru di Amerika pada tahun 1970-an, yang dipopulerkan oleh eksekutif periklanan Gary Dahl, kini telah menemukan tujuan baru di kawasan Pasifik.
Kebangkitan kembali batu-batuan peliharaan di Asia menandakan penyimpangan dari asal usulnya yang lucu.
Sebaliknya, hal ini dianggap sebagai sarana untuk meringankan rasa isolasi dan kelelahan yang lazim terjadi di masyarakat Korea Selatan.
Mengutip dari Firstpost, ketertarikan baru terhadap batu ini sejalan dengan referensi budaya, seperti lempengan batu yang ditampilkan dalam film pemenang penghargaan 'Parasite' karya sutradara Bong Joon-ho, yang melambangkan kemakmuran dan kekayaan.
Setelah pandemi Covid-19, daya tarik mengumpulkan batu kembali muncul, meski dengan sentuhan modern.
Batu yang lebih kecil, yang dalam bahasa sehari-hari disebut batu peliharaan, menjadi objek pilihan individu yang mencari teman.
Batuan ini dihiasi dengan nama panggilan dan aksesori yang dipersonalisasi, menawarkan kemiripan kenyamanan dan koneksi di dunia yang semakin terisolasi.
Inti dari fenomena ini adalah konsep 'suseok' atau batu cendekiawan, yang terkenal karena kualitasnya yang membawa keberuntungan pada masa Dinasti Joseon.
Awalnya merupakan simbol kemakmuran dan kehalusan, suseok kembali populer selama ledakan ekonomi Korea Selatan pada akhir abad ke-20.
Namun, kebangkitannya di masa kini terkait erat dengan perubahan persepsi, dari simbol kekayaan menjadi sumber pelipur lara di tengah tantangan modern.
Batuan atau batu peliharaan lebih terjangkau dibandingkan dengan hewan peliharaan tradisional atau suseok, berkisar antara 6.000 won hingga 10.000 won, atau berkisar Rp70 ribu hingga Rp100 ribu. (*)