search:
|
PinNews

Mantan Mendes PDTT: Pertumbuhan Ekonomi Desa Bisa Double Digit

Rabu, 12 Jun 2024 20:34 WIB
Mantan Mendes PDTT: Pertumbuhan Ekonomi Desa Bisa Double Digit

Mantan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo. Foto: Pinusi.com/ Jekson S


PINUSI.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo menjelaskan ekonomi Indonesia bisa bertumbuh karena didukung oleh pola konsumsi. Jika dihitung-hitung, jumlahnya mencapai 60 persen dari keseluruhan porsi ekonomi Indonesia.

Selain konsumsi oleh masyarakat perkotaan, konsumsi juga disumbang oleh masyarakat yang berada di desa. Karena itu, masyarakat desa, ujar Eko, tidak boleh dilupakan.

"Itu 60 persennya berasal dari konsumsi. Konsumsi tersebut, salah satunya berasal dari desa," kata Eko Putro kepada Pinusi.com, Rabu (12/6).

Dengan demikian, desa memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika percepatan pembangunan di desa bisa dikejar, secara langsung hal itu berdampak terhadap pola konsumsi masyarakat desa dan berkorelasi positif terhadap konsumsi nasional secara keseluruhan.

"Jika kita bisa percepat pertumbuhan ekonomi di desa, itu seharusnya akan berdampak terhadap konsumsi Indonesia secara keseluruhan," paparnya.

Berhubung desa memiliki base line ekonomi yang lebih rendah ketimbang masyarakat kota, maka membangun desa sejatinya jauh lebih mudah. Pada gilirannya, hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

"Jika desanya diperhatikan dengan baik, itu pertumbuhan ekonomi akan menjadi double digit. Itu tidak terlalu sulit," tegas Eko.

Khusus terhadap pemerintahan baru, Eko Putro meyakini pembangunan desa tidak akan dilupakan. Itu karena Prabowo selaku presiden terpilih selalu mengutarakan di banyak kesempatan untuk melanjutkan hal-hal baik yang telah dilakukan Presiden Joko  Widodo.

"Jadi harusnya desa itu menjadi bagian penting dan saya percaya pemerintahan Pak Prabowo dan Pak Gibran akan tetap melanjutkan program desa yang telah dijalankan oleh Pak Jokowi,"  terangnya.

Pemberdayaan dan pembangunan desa perlu dilanjutkan, karena desa-desa di Indonesia belum berada pada level yang sama. Ada banyak desa yang telah sukses dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, namun tak sedikit yang gagal.

"Tidak sukses karena tidak punya sumberdaya untuk mengelola sumber alam desanya. Itu perlu pedampingan. Contohnya melalui kerja sama dengan swasta,"  kata Eko Putro.

Eko menambahkan, "Saya kira itu penting. Contohnya BUMDes. Di Indonesia jumlah desa ada 75 ribu. Jika BUMDes dikasih kepercayaan untuk menyalurkan sembako ke warung-warung di desa, menyalurkan gas, pasti nggak akan dicolong. Atau menyalurkan pupuk. Karena kalau dicolong pasti akan didemo masyarakat desa."

Dengan jumlah desa se Indonesia mencapai 74.958 desa, Eko Putro mengingatkan bahwa angka itu sangat besar dan sangat potensial secara hitung-hitungan bisnis. Ketika dana desa dimanfaatkan secara optimal, berdasarkan pengalaman selama ini, keuntungan yang dihasilkan bisa berlipat ganda.

"Itu BUMDes untung Rp1 miliar tidak sulit. Bayangkan jika dikonsolidasikan 74 ribu BUMDes, dimana 1 BUMDes untungnya bisa Rp1 miliar, maka untungnya untuk seluruh BUMDes bisa mencapai Rp74 triliun," paparnya.

Belum lagi jika BUMDes akhirnya bisa melantai di bursa dengan melakukan penawaran saham perdana (IPO), maka nilai price earning (PE) bisa mencapai 20 kali. Secara hitungan sederhana, kata  Eko Putro, capaian kapitalisasi marketnya juga besar.

"Itu kalau di IPO-in, karena rate price earning (PE) 20, maka kapitalisasi marketnya bisa mencapai Rp1.500 triliun," tegasnya.

Dengan kapitalasi market sebesar itu, dana yang dikumpulkan oleh BUMDes dari lantai bursa, setara dengan USD100 miliar. Capaian dana sebesar itu masuk kategori world class company atau perusahaan kelas dunia.

"Itu USD100 miliar itu baru world class company. Jadi Indonesia harus main disitu," papar Eko Putro.

Ia menambahkan, "Jadi aktivitas desa untuk dijadikan sebagai aktivitas world class itu besar sekali jika kita konsolidasikan."

Sementara jika dikaitkan dengan kebutuhan dana desa, Eko Putro menjelaskan, tidak pernah ada kata cukup. Karena itu, skala prioritas perlu ditetapkan, agar penggunaannya menjadi tepat sasaran.

"Jika ditanya kurang, pastinya akan selalu kurang terus. Tapi dana desa tujuannya hanya untuk memancing. Kalau bisa desanya dengan dana desa, dengan infrastruktur yang terbangun dari dana desa, mulai mengembangkan aktivitas ekonominya," ujar Eko.

Eko Putro mencontohnya Desa Ponggok yang terkenal dengan wisata mata air Umbul Ponggok. Dulunya sebelum dikelola secara profesional, kas desa selalu habis, sementara hasilnya tidak terlihat.

Kini dengan adanya dana desa, mata air tersebut diperbaiki dan berubah menjadi lokasi wisata yang sangat populer di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

"Yang tadinya rugi dan harus nombok, sekarang untungnya bisa Rp10 - Rp15 miliar setahun," paparnya.

Pendapatan dari sektor wisata ternyata jauh lebih besar ketimbang dana desa yang hanya Rp1 miliar. Hal-hal seperti itu, ungkap Eko Putro, bisa direplikasi di banyak tempat di Indonesia. Namun selain itu, Eko mengingatkan tentang pentingnya pendampingan agar lebih fokus dan efisien.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan, kata Eko Putro adalah pengawasan dana desa. Pasalnya, melalui pengawasan yang baik, kebocoran anggaran bisa ditekan.

"Untuk pengawasan dana desa, setahu saya bocornya relatif kecil. Dulu bocornya cuma Rp36 miliar dari Rp70 triliun. Itu cuma 0.05 persen," jelasnya.

Informasi terakhir, ungkap Eko Putro, kebocoran dana desa telah mencapai Rp300 miliar dari pagu anggaran Rp71 Triliun untuk tahun 2024. Angka itu, menurutnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kebocoran anggaran secara nasional.

"Sekarang saya dengar besar kebocoran Rp300 miliar. Jumlah itu, cuma 0.5 persen dari jumlah total. Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata kebocoran nasional, jumlahnya jauh lebih kecil," ujarnya.

Eko Putro juga menjelaskan penggunaan dana desa diawasi oleh banyak pihak. Mulai dari  masyarakat, NGO, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, camat, inspektorat kabupaten, polisi hingga  kejaksaan kerap terlibat melakukan pengawasan.

"Tapi orang yang ingin coba pasti ada aja lah. Susahlah bilang 100 persen. Tapi pasti ketahuan," tandasnya.



Editor: Jekson Simanjuntak

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook