PINUSI.COM, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan Indonesia sudah memiliki sejumlah regulasi yang mendukung proses transisi energi. Meski begitu, perlu akselerasi langkah taktis memuluskan langkah transisi energi.
"Agar bisa sejalan dengan Perjanjian Paris, maka PLTU paling tidak berakhir operasinya di tahun 2045," ujar Manager Riset IESR, Raditya Yudha Wiranegara di Jakarta kepada Pinusi.com, Kamis (6/6).
Berdasarkan skenario pensiun dini PLTU batu bara yang dikeluarkan IESR, untuk mendukung itu pada 2022 dengan jumlah daya kapasitas sebesar 43,4 GW perlu memensiunkan 18 pembangkit listrik berkapasitas 9,2 GW.
Kemudian pada 2030 dengan kapasitas daya sebesar 34,2 GW perlu memensiunkan 39 pembangkit listrik berkapasitas 21,7 GW. Disusul pada 2040 dengan kapasitas daya 12,5 GW perlu memensiunkan 15 pembangkit listrik berkapasitas 12,5 GW.
"Dengan begitu pada 2045 sudah seharusnya sudah tidak ada PLTU batu bara," jelasnya.
Raditya menambahkan di balik rencana pensiun dini PLTU batu bara, tidak lepas dari biaya pendanaan sebagai pengganti saat masa transisi energi.
Berdasarkan skenario pembiayaan IESR pada periode 2020-2030 diperlukan pembiayaan sebesar US$ 135 miliar untuk membiayai energi baru terbarukan, energi fosil, efisiensi energi, transmisi dan distribusi.
Sedangkan periode 2031-2040 membutuhkan pembiayaan sebesar US$455 miliar. Disusul pada periode 2041-2050 membutuhkan pembiayaan sebesar US$633 miliar.