PINUSI.COM - Persoalan mendasar yang terus terjadi berulang-ulang setiap tahunnya di dunia pendidikan adalah soal dana bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) yang selalu tidak tepat sasaran.
Dana PIP yang bersumber dari APBD dan dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kemudian diperuntukkan bagi murid dari keluarga tidak mampu (miskin) namun fakta yang terjadi dilapangan justru dana tersebut diterima oleh murid dari keluarga mampu (kaya).
"KIP sebuah lembaga yang mengawal undang-undang tentang keterbukaan informasi publik, oleh karena itu kita mendorong manajemen komunikasi publiknya harus diperbaiki. Karena kalau mendengarkan penjelasan yang tadi, misalnya dari kementerian itukan sudah berlapis-lapis tuh, tapi ternyata timbul masalahnya kan dibawah, ada sekolah kemudian di orang tua yang tidak terkomunikasi, termasuk dinasnya. Saya kira ini ada miss informasi yang terjadi dan masalahnya ada disana. Jadi makanya yang harus diperkuat itu adalah komunikasi publik yang ada di level hilirnya, bagaimana melakukan sosialisasi terhadap pengelolaan PIP ini kepada seluruh siswa, sehingga pembagiannya tepat sasaran," tutur Syawaludin.
Komisi Informasi Pusat yang berkomitmen untuk terus mengawasi implementasi transparansi dalam PIP dengan memastikan akses informasi yang terbuka dan akuntabel, diharapkan program ini dapat berjalan lebih efektif serta memberikan manfaat nyata bagi peserta didik di seluruh Indonesia karena melihat besaran jumlah dana PIP yang diterima oleh setiap murid untuk tingkatan SD, SMP, SMA bervariasi mulai dari Rp.225.000 hingga Rp. 900.000 serta diberikan 1x dalam setahun kemudian disalurkan melalui sejumlah bank yang telah bekerjasama.
Sementara itu disatu sisi, Sofiana selaku perwakilan dari Kemendikdasmen menjelaskan bahwa PIP hanya digunakan untuk membantu biaya personal pendidikan seperti membeli seragam, sepatu, transport, dll. Dan mengenai perolehan data berapa banyak murid miskin di seluruh Indonesia, pihaknya menggunakan data dari 3 lembaga negara dan 2 sistem data internal dimiliki kementeriannya.
"Nah mereka punya inisiatif untuk melakukan sosialisasi webinar dan segala macam, tapi kan pesertanya itu hanya dinas-dinas saja yang saya lihat tadi, berarti masih perlu inovasi lagi terhadap komunikasi publiknya. Tidak hanya pada jajaran tingkat atas saja, justru mereka harus melakukannya secara berjenjang. Turun ke daerah, turun sampai ke tingkat desa, atau sampai tingkat kabupaten, kemudian di tingkat kabupaten itu mereka melibatkan banyak pihak. Jadi ya memang kerjanya harus kerja keras. Indonesia ini luas, kita harus pikirkan caranya bagaimana agar target komunikasinya itu betul-betul tersampaikan. Target sosialisasinya tersampaikan," jawab Komisioner Komisi Informasi Publik, Syawaludin kepada redaksi PINUSI.COM saat ditemui di gedung KIP di Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).
"Data yang dipakai itu berasal dari DTSEN keluaran BPS, DTKS punya Kemensos dan P3KE milik Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, sementara kami tentunya hanya menguasai data sekitar Dapodik dan PIB saja. Perbedaan antara data berasal 3 lembaga negara dengan 2 data internal adalah yang 3 itu berdasarkan survey, sedangkan 2 nya data dapat dari sekolah," jawab Ketua Tim Kerja PIP Dikdasmen, Sofiana Nurjanah.
Sementara itu, dana PIP yang tidak tersalurkan mencapai hingga Rp. 300 miliar kemudian dikembalikan lagi ke negara oleh pihak Kemendikdasmen, dan hal tersebut sangat disayangkan. Syawaludin menyakini bahwa hal tersebut terjadi karena adanya sumbatan pada pola komunikasi di hilir, karena seharusnya jd Rp. 0 apabila program PIP nya tepat sasaran.
"Kita sedih juga ada berapa ratus miliar yang harus dikembalikan kepada negara. Itu kan berarti harus menjadi pertanyaan besar, kenapa harus dikembalikan ke kas negara? Apakah tidak terkomunikasi dengan baik, atau memang masyarakat yang betul-betul mendapatkan itu, oleh sekolahnya tidak disampaikan kepada siswanya," tanyanya.
"Duit tersebut targetnya diperuntukkan buat orang miskin. Jika disalurkan ke penerima yang berhak sekian juta orang misalnya, maka tidak ada lagi uang yang harus kembali kepada kas negara, harusnya Rp. 0. Kalau ada duit yang balik 300 miliar, kementerian harus melakukan evaluasi besar. Saya yakin ada sumbatan informasi di tingkat bawah. Maka solusinya, di hilirnya harus diperkuat setidaknya misalnya sekolah itu sudah punya cara komunikasi dengan siswa, orang tua dan masyarakat melalui pengumuman-pengumuman yang ada di sekolah dan sebagainya maka itu yang harus dilakukan, jangan sampai malah sekolahnya tidak peduli. Itu yang perlu diawasi menurut saya, jadi bukan dinasnya aja. Karena yang menjadi persoalan mendasarnya disini adalah pengawasan yang melekat kepada sekolah-sekolah," yakinnya.