search:
|
PinNews

Rupiah Sulit Menguat karena Panasnya Ekonomi AS

Fariz Agung Prasetya/ Sabtu, 01 Jun 2024 03:30 WIB
Rupiah Sulit Menguat karena Panasnya Ekonomi AS

Rupiah masih berpotensi melanjutkan tren pelemahan. Foto: iStock


PINUSI.COM - Banyak berita buruk tentang Amerika Serikat (AS), membuat rupiah masih berpotensi melanjutkan tren pelemahan.

Menurut Refinitiv, pada Rabu (29/5/2024), rupiah ditutup terdepresiasi 0,44% di angka Rp16.155/US$.

Pelemahan ini sebanding dengan penurunan 0,16% yang terjadi sehari sebelumnya (28/5/2024).

Namun, indeks dolar AS (DXY) naik tipis 0,02% ke 104,63 pada 14:55 WIB kemarin.

Ini lebih tinggi dari penutupan sebelumnya di 104,61.

Indeks kepercayaan konsumen AS naik menjadi 102, dari 97,5 pada bulan sebelumnya, diduga menjadi salah satu penyebab kembalinya pelemahan mata uang Garuda.

Menurut Global Manufacturing PMI AS (S&P), yang meningkat menjadi 50,9 pada Mei 2024, kondisi manufaktur AS juga terlihat meningkat.

Karena kontribusi lapangan kerja dan output yang semakin meningkat, angka tersebut menunjukkan sedikit perbaikan secara keseluruhan pada kondisi bisnis di industri manufaktur.

Keyakinan konsumen yang meningkat dan perbaikan kondisi manufaktur, menunjukkan daya beli masyarakat Amerika Serikat masih kuat di tengah kekhawatiran inflasi dan era suku bunga tinggi.

Hal ini dapat menyebabkan bank sentral AS (Fed) terus menerapkan kebijakan hawkish.

Untuk inflasi AS saat ini, itu berada di angka 3,4% per tahun (yoy), lebih rendah dari kenaikan 3,5% yoy pada Maret 2024.

Namun, Federal Reserve masih akan memilih kebijakan yang lebih lama, setidaknya dalam jangka waktu dekat, karena inflasi AS masih jauh di atas targetnya, yaitu 2%.

Selain itu, kenaikan yield obligasi pemerintah AS juga dikaitkan dengan penurunan pasar keuangan Indonesia; yield obligasi acuan tenor 10 tahun naik 5,6 basis poin (bp) menjadi 4,598%.

Investor melihat keadaan perekonomian Negeri Paman Sam dan lelang obligasi lima tahun yang buruk, yang menyebabkan kenaikan yield Treasury.

Selain itu, pelaku pasar masih menunggu rilis data inflasi Produksi Daya Konversi (PCE) pekan ini.

Data ini sangat penting karena menggambarkan kondisi ekonomi Amerika Serikat sebagai acuan untuk kebijakan bank sentral AS, atau Federal Reserve.

Secara teknikal, pergerakan mata uang Garuda pada basis waktu per jam menunjukkan tren masih dalam pelemahan.

Jika tetap berlanjut, rupiah dapat melemah ke resistensi terdekat di Rp16.180/US$.

Posisi ini diambil dari titik terendah pada 2 Mei 2024 sebelum penurunan.

Sebaliknya, jika terjadi pembalikan arah yang lebih kuat, pelaku pasar dapat melihat support terdekat di Rp16.130/US$, yang diambil berdasarkan candle tertinggi intraday pada 14 Mei 2024.

Ini juga dekat dengan garis rata-rata selama 20 jam atau Moving Average/MA 20. (*)



Editor: Yaspen Martinus
Penulis: Fariz Agung Prasetya

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook