PINUSI.COM - Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, tengah menghadapi ancaman pemakzulan setelah keputusan kontroversialnya untuk mendeklarasikan darurat militer. Langkah ini, yang pertama kalinya dilakukan dalam empat dekade terakhir, dituding sebagai upaya untuk menghalangi penyelidikan kriminal yang melibatkan dirinya dan keluarganya.
Keputusan tersebut memicu krisis politik besar. Parlemen dengan cepat membatalkan deklarasi tersebut, tetapi gejolak politik tetap tak terhindarkan.
Pada Kamis (5/12/2024) dini hari, anggota parlemen oposisi menyerahkan mosi pemakzulan, menuduh Yoon melanggar konstitusi dan hukum. Tuduhan ini juga mencakup dugaan upaya presiden menghindari penyelidikan atas kasus-kasus yang menjerat keluarganya.
"Ini adalah pelanggaran serius yang tidak dapat dimaafkan," ujar Kim Seung-won, salah satu anggota parlemen, seperti dilaporkan oleh AFP.
Undang-undang Korea Selatan mengharuskan mosi pemakzulan diputuskan dalam waktu 24 hingga 72 jam. Dengan mayoritas kursi parlemen dikuasai oposisi, peluang Yoon untuk mempertahankan posisinya tampak kecil.
Respon Internasional dan Demonstrasi Rakyat
Langkah darurat militer ini mengejutkan sekutu internasional, termasuk Amerika Serikat, yang memiliki hampir 30.000 pasukan di Korea Selatan. Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS, menyatakan bahwa Washington tidak diberitahu sebelumnya.
"Kami lega bahwa keputusan tersebut telah dibatalkan. Demokrasi Korea Selatan tetap kuat, dan kami akan terus mempererat hubungan bilateral," ujar Sullivan.
Di dalam negeri, ribuan warga Korea Selatan turun ke jalan, menyerukan pengunduran diri Yoon. Demonstrasi besar terjadi di sekitar kantor presiden di Seoul dan Gwanghwamun Square.
"Saya marah dan tidak bisa tidur semalam. Saya datang ke sini untuk memastikan Yoon benar-benar lengser," kata Kim Min-ho, salah satu demonstran.
Situasi di parlemen semakin memanas ketika lebih dari 280 tentara dikerahkan untuk mengamankan gedung. Namun, 190 anggota parlemen berhasil masuk dan membatalkan deklarasi darurat militer tersebut.
Dalam pidatonya, Yoon berdalih bahwa langkah darurat militer diperlukan untuk menghadapi ancaman dari Korea Utara dan "elemen anti-negara". Namun, klaim ini memicu kritik tajam, terutama setelah ia menyebut oposisi utama, Partai Demokrat, sebagai "elemen anti-negara."
Sejak terpilih pada 2022, popularitas Yoon terus merosot. Jajak pendapat terbaru dari Gallup menunjukkan tingkat persetujuannya hanya 19%, dengan banyak warga marah atas situasi ekonomi dan kontroversi yang melibatkan istrinya.
Krisis ini menunjukkan masa depan politik Yoon yang semakin tidak pasti. Ketegangan antara pemerintah dan oposisi terus meningkat, meninggalkan tanda tanya besar tentang stabilitas pemerintahan di Korea Selatan. (*)