Oleh :
Chiara Revana Anggraini dan Beatrisya Elizabeth
Langit yang dulu biru kini perlahan tertutup kabut tebal yang menyesakkan. Tingkat polusi udara yang terus meningkat menjadikan Indonesia, terutama Jakarta menghadapi tantangan serius yang tak bisa diabaikan. Saat ini, Jakarta menduduki urutan ketujuh dalam daftar kota paling berpolusi di dunia. Menurut situs pemantau kualitas udara (IQAir) November 2024, konsentrasi partikel halus berbahaya (PM 2,5) di udara Jakarta tercatat mencapai 37 (ug/m3). Angka ini 7.4 kali lipat lebih tinggi dari standar aman atau nilai panduan kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kondisi polusi udara yang semakin parah di Jakarta dan kota-kota di Indonesia mencerminkan krisis lingkungan yang semakin mendesak. Fenomena polusi udara yang semakin parah ini terkait erat dengan perubahan iklim global yang dipicu oleh tingginya emisi karbon dioksida. Emisi ini sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang digunakan dalam kendaraan bermotor. Produk olahan bahan bakar minyak (BBM) dan Non Bahan Bakar Minyak (NBBM) yang digunakan dalam transportasi dan industri menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Melihat urgensi ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dengan mempromosikan kendaraan listrik (Electric Vehicle) sebagai solusi masa depan yang lebih ramah lingkungan. Berbagai kebijakan, terutama di bidang perpajakan mulai diterapkan agar masyarakat lebih tertarik untuk beralih ke kendaraan listrik.
Insentif Pajak
Pemerintah tidak diam saja dalam upayanya untuk mengubah preferensi masyarakat agar mulai tertarik pada kendaraan listrik dan beralih dari kendaraan konvensional. Salah satu
upaya ini adalah pemberian insentif berupa pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% untuk mobil listrik jika mobil tersebut memenuhi persyaratan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024 (PMK 8/2024). Dengan insentif ini, calon pembeli hanya perlu membayar PPN sebesar 1% dari harga jual, karena 10% sisanya ditanggung oleh pemerintah (DTP).
Tidak hanya itu, pemerintah juga memberikan kelonggaran dalam bea masuk atas impor kendaraan listrik berbasis baterai yang disebut dengan completely knock down (CKD), saat mobil yang diimpor dalam keadaan komponen yang lengkap, namun belum dirakit atau incompletely knock down (IKD) saat mobil yang diimpor dalam kondisi tak utuh dan tak lengkap. Selain itu, ada pula insentif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yakni pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah, bea masuk impor mesin, barang, dan bahan dalam rangka penanaman modal, penangguhan bea masuk dalam rangka ekspor, dan insentif bea masuk ditanggung pemerintah atas impor bahan baku dan bahan penolong untuk proses produksi.
Sebagai tindak lanjut dari Perpres Nomor 55 Tahun 2019, diterbitkan juga Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur tentang pemberian insentif pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Sesuai Pasal 2 ayat 2, disebutkan bahwa KBLBB tidak dikenakan pajak BBNKB. Selain itu, mobil listrik juga dibebaskan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Permendagri) Nomor 6 Tahun 2023. Selain insentif fiskal, pemerintah juga memberikan fasilitas non-fiskal berupa pembebasan aturan ganjil-genap untuk KBLBB.
Faktor Preferensi Konsumen
Efektifitas sebuah kebijakan tentu dilihat dari outputnya. Dalam hal kebijakan pajak kendaraan listrik, dilihat dari bagaimana minat beli masyarakat terhadap kendaraan listrik. Menurut Kwan dan Sarjono (2024), Pajak mempengaruhi elastisitas harga barang, yang pada akhirnya mempengaruhi preferensi konsumen. Barang dengan pajak yang tinggi menyebabkan permintaan menjadi lebih sedikit dibanding barang dengan pajak yang lebih rendah. Selain itu, dalam penelitiannya, Liao, Molin, dan Van Wee mengungkapkan bahwa secara umum terdapat empat atribut preferensi kendaraan listrik. Yaitu financial, technical, infrastructure dan policy attributes. Policy attributes mencakup berbagai instrumen
kebijakan, termasuk kebijakan pajak. Maka dari itu, kebijakan pajak memainkan peran penting dalam menentukan preferensi konsumen.
Dampak
Dikutip dari data Gaikindo, bisa dilihat perkembangan yang cukup signifikan dari penjualan Battery Electric Vehicle di Indonesia (BEV). Pada tahun 2018, belum ada penjualan BEV sama sekali. Begitu pula dengan tahun 2019, dimana masyarakat belum familiar dan pemerintah juga belum gencar mempromosikan kendaraan listrik. Namun, selama masa pandemi 2020-2021, diluar prediksi bahwa penjualan BEV mulai memperlihatkan peningkatan. Hingga pada 2022-2023, di masa peralihan setelah pandemi, penjualan BEV mengalami kenaikan yang sangat signifikan hingga 15x lipat dari tahun sebelumnya. Jika kita perhatikan, tahun 2022 merupakan tahun dimana pemerintah mulai sangat gencar mempromosikan kendaraan listrik. Pada tahun tersebut, mobil listrik pertama yang dirakit di Indonesia, yaitu Hyundai IONIQ 5 diluncurkan. Salah satu jenis mobil listrik yang paling terkenal, Wuling Air EV juga diluncurkan pada tahun 2022. Perpres Nomor 55 Tahun 2019 serta Pergub Nomor 3 Tahun 2020 yang mengatur tentang insentif pajak kendaraan listrik sudah mulai populer pada tahun tersebut. Sehingga, kebijakan pemerintah, salah satunya melalui insentif pajak, memainkan peran penting dalam mengubah preferensi konsumen.
Hal ini juga didukung dengan salah satu hasil survey mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia angkatan 2022. Dari hasil survey yang
dilakukan kepada total 333 responden di DKI Jakarta (jawaban tidak relevan sudah difilter), didapatkan beberapa data sebagai berikut.
Keterangan:
*Tidak = Tidak Dipertimbangkan Sedikit = Sedikit Dipertimbangkan Banyak = Banyak Dipertimbangkan Sangat = Sangat Dipertimbangkan
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bahwa rata-rata 58,95% responden sangat mempertimpangkan Insentif PPN DTP, PPnBM, PKB, dan BBNKB dalam membeli kendaraan listrik. Sedangkan rata-rata 27,55% responden banyak mempertimbangkan Insentif PPN DTP, PPnBM, PKB, dan BBNKB dalam membeli kendaraan listrik. Persentase tersebut menunjukkan bagaimana insentif pajak adalah salah satu faktor pertimbangan utama
konsumen dalam membeli kendaraan listrik dan bagaimana insentif pajak dapat mengubah preferensi konsumen.
Kesimpulan
Insentif pajak menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan preferensi konsumen. Mayoritas konsumen akan memilih membeli barang dengan pajak yang lebih rendah, sehingga harga yang dikeluarkan juga akan lebih kecil. Melalui data perkembangan volume penjualan BEV diatas, dapat dilihat bagaimana volume penjualan BEV meningkat drastis sejak tahun 2022, dimana pemerintah mulai fokus mendorong percepatan kendaraan listrik lewat insentif-insentif pajak yang diberikan. Hasil survey mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal pada tahun 2024 juga menunjukkan bagaimana masyarakat mempertimbangkan insentif pajak dalam membeli kendaraan listrik. Sehingga, penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dan insentif pajak yang tepat guna meningkatkan preferensi konsumen dalam membeli kendaraan listrik.