search:
|
PinNews

Daur Ulang Stigma Anak Jalanan Lewat Sampah

Minggu, 09 Jun 2024 13:00 WIB
Daur Ulang Stigma Anak Jalanan Lewat Sampah

Pekerja sosial sekaligus pendiri Bank Sampah Induk (BSI) Kumala dan Yayasan Kumala Dindin Komarudin berpose bersama produk daur ulang BSI Kumala ketika ditemui di Jakarta, Jumat (7/6). Foto: Antara


PINUSI.COM, JAKARTA - Rumah berpagar hitam itu terbuka lebar dengan mobil bak dipenuhi karung bermuatan plastik siap diantar. Pemandangan normal yang rutin terlihat di satu bank sampah di Jakarta.

"Semua operasi bank sampah kebanyakan dilakukan oleh anak-anak," kata pencetuas bank sampah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Dindin Komarudin dikutip Antara, Jumat (7/6).

Dindin adalah lulusan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Sekarang usianya 50 tahun.

Anak-anak yang dimaksud Dindin adalah 13 orang berusia dewasa. Berlatar belakang anak jalanan, beberapa, bahkan masih menghabiskan hidupnya mencari peruntungan di jalan.

Mereka adalah bagian dari 16 orang yang menjalankan operasional bank sampah dan yayasan.

Awal mula bank sampah ini memang tak biasa. Cikal bakalnya 2003 lalu. Ketika pria dengan sapaan Abah Dindin itu bekerja di sebuah yayasan yang mengurus anak jalanan. termasuk menyediakan rumah singgah bagi mereka.

Untuk membuat mereka betah, Dindin mencoba mencarikan kegiatan. Biar anak-anak jalanan itu kerasan dan mengurangi aktivitas di jalan.

Kekurangan dana untuk membeli peralatan, ia lantas mencari media yang paling mudah didapat. Yakni sampah dan barang bekas.

Hasil sesuai ekspektasi. Aktivitas membuat prakarya dari barang bekas itu cukup disukai oleh anak-anak asuhnya. Beberapa hasil karya, bahkan dibeli oleh donatur dengan harga tinggi. Menggembriakan.

Hanya saja, kegembiraan Dindin dan anak-anak asuhnya tak berlangsung lama. Mereka sadar kebanyakan pembeli melakukannya karena dasar kasihan. Mereka tak benar-benar butuh.

Momentum Titik Balik

Kesadaran itu lantas jadi titik balik. Mereka kemudian berpikir. Agar membuat produk daur ulang sampah yang memiliki nilai jual dan dibutuhkan pembeli.

Hal pertama yang dilakukan adalah memberikan kesan baik. Para anak jalanan itu kemudian belajar untuk berpenampilan rapi, bersih dan bertutur baik.

Sikap itu disertai dengan pembuatan produk-produk daur ulang yang memiliki nilai guna.

Perubahan itu, rupanya berbuah manis. Dindin dan para anak asuhnya mulai menerima banyak permintaan membuat produk daur ulang. Bahkan memberikan pelatihan.

Klien mereka beragam. Mulai dari kelompok mahasiswa sampai komunitas masyarakat. 

Sejak 2010 mereka bahkan mulai diajak bekerja sama dengan perusahaan. Termasuk instansi pemerintah setempat.

Undangan pelatihan daur ulang membuka dunia mereka. Membawa Dindin dan anak-anak jalanan yang diasuhnya tak hanya berkeliling Jakarta, tapi juga berbagai wilayah lain di Indonesia.

Ini pengalaman yang memberikan kepercayaan diri bagi para anak jalanan itu. Membantu mengubah sudut pandang yang mereka sematkan kepada diri sendiri karena stigma masyarakat.

Dindin bercerita awalnya mereka distigma negatif oleh masyarakat. Dianggap tidak berguna.

"Dengan ketekunan yang berbuah keterampilan, lambat laun banyak orang-orang mengajak mereka memberikan pelatihan tentang daur ulang," ceritanya.

Beragam produk daur ulang yang mereka buat lahir dari ide anak-anak jalanan itu.

Apa yang paling berkesan bagi Dindin? Jawabnya, satu. Kertas daur ulang berbulu kambing. Hasil kejahilan anak asuhnya yang memasukkan bulu kambing ke dalam bubur kertas.

Hasilnya, kertas dengan bulu kambing itu banyak dicari ketika mereka ikut dalam satu pameran. Bahkan, terdapat pembeli dari Jepang yang mencari kertas unik tersebut.

Makin banyak yang mencari produk dan ingin diberikan pelatihan, anak-anak jalanan itu makin merasa dihargai.


Mereka merasa sebagai bagian masyarakat yang memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar. Meski hasil yang didapat dengan hidup di jalanan dapat lebih besar dari penghasilan saat ini.

Biar tahu saja. Sekarang, mayoritas dari mereka kini secara penuh membantu operasi dari bank sampah itu.

Pada akhirnya, sampah membawa perjalanan hidup Dindin dan anak-anak asuhnya ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika membangun bank sampah pada 2016.

Kini fasilitas itu sudah menjadi Bank Sampah Induk (BSI) Kumala. Sekaligus Yayasan Kreatif Usaha Mandiri Alami (Kumala).

Sama dengan produk daur ulang, mengoperasikan bank sampah juga diwarnai dengan beragam tantangan.

Mereka menghadapi tantangan internal dengan kebutuhan dana. Dan beberapa kali didatangi oleh aparat akibat anak asuhnya yang tertangkap.

Terdapat pula isu eksternal. Karena penolakan lingkungan akibat lokasi itu menjadi tempat berkumpulnya sampah sungguhan dan anak jalanan yang kerap distigma sebagai "sampah masyarakat".

Perlahan, Dindin dan anak asuhnya berupaya membangun kepercayaan masyarakat.

Dimulai dari anak-anak asuhnya yang tidak hanya diberikan kemampuan untuk bertahan hidup dengan produk daur ulang. Tapi juga dibimbing tentang keteraturan, norma masyarakat serta disiplin agar menghasilkan perubahan sikap.

Waktu kembali menjadi jawaban untuk memecahkan beragam masalah. Dimulai dari menabung sampah yang hanya dilakukan oleh anggota komunitas, kini bank sampah itu berstatus sebagai bank sampah induk pada 2023.

Nasabah awal-awal banyak yang berasal dari Tanjung Priok. Kebanyakan berasal dari luar wilayah itu.

BSI itu saat ini membina 34 bank sampah unit. Juga punya 348 nasabah individu, enam nasabah sekolah, tujuh nasabah perusahaan dan dua nasabah instansi pemerintah.

Tak hanya itu, 11 RT yang berada di sekitar bank sampah di Tanjung Priok juga kini menyetor sampah untuk didaur ulang.

BSI sendiri memiliki kapasitas menampung 8-10 ton sampah plastik. Yang ditargetkan akan meningkat menjadi 12-14 ton dalam bulan ini.

Singkat cerita. Apa yang dilakukan Dindin bersama anak asuhnya tak cuma mandaur ulang sampah. Tapi juga mental dan stigma masyarakat.

Dapat Penghargaan Kalpataru​​​​​​​

Sampah yang dipandang sebelah mata tak hanya membantu Dindin membimbing anak jalanan. Tapi juga membawanya mendapatkan penghargaan lingkungan hidup Kalpataru 2024.

Penghargaan itu diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kelautan (KLHK). Ini sebagai bentuk terima kasih pemerintah.

Kata Menteri LHK Siti Nurbaya, penerimanya adalah pahlawan yang melakukan langkah luar biasa dan nyata. Tak hanya untuk lingkungan, tapi juga masyarakat sekitar.

Biar tahu saja. Kalpataru merupakan tanda penghargaan dari pemerintah untuk mereka yang berupaya menjaga lingkungan dan membantu masyarakat tempat para penerimanya berkarya.

Penghargaan ini juga jadi amanah bagi yang menerimanya. Agar tetap berjuang bagi lingkungan dan masyarakat.

Dindin sendiri melihat penghargaan itu sebagai bagian dari proses yang terus berjalan. Dan merupakan buah kerja keras usaha oleh anak-anak binaannya.

Pembinaan anak jalanan akan terus dia lanjutkan. Kini, Dindin bahkan sudah merangkul juga kelompok marjinal lain. Seperti kaum disabilitas, pemulung, dan nelayan. Terutama di wilayah sekitar Jakarta Utara, termasuk Kampung Bayam, kolong Tol Papanggo, Gang Salak, dan Tanah Merah.

Dia juga sudah menyiapkan anak-anak binaannya untuk memastikan operasi bank sampah induk dan yayasannya terus berjalan. Dindin mengandaikan hal itu seperti membangun rumah kokoh membutuhkan dasar kuat serta proses tanpa henti.

Dindin meyakini anak-anak jalanan yang dibimbingnya akan mampu melanjutkan bank sampah itu. Tak hanya untuk memastikan lingkungan hidup sehat, tapi juga mengubah stigma masyarakat.



Editor: Fahriadi Nur

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook