search:
|
PinNews

Anies Dilirik PDIP, Emrus: Sangat Mungkin karena Bukan Pelanggar UU

Senin, 10 Jun 2024 07:05 WIB
Anies Dilirik PDIP, Emrus: Sangat Mungkin karena Bukan Pelanggar UU

Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat ditemui di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (8/6/2024). Foto: ANTARA


PINUSI.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengungkapkan peta politik di Indonesia sangat cair. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya kalkulasi politik yang dilakukan oleh sejumlah partai politik (parpol) untuk mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.

Sejauh ini, terang Emrus, yang paling mungkin mengusurng Anies di Jakarta adalah PKS dan PKB. Namun tidak tertutup kemungkinan dengan partai lain, seperti PDI Perjuangan.

"Dan boleh jadi PDI Perjuangan," katanya.

Didasarkan pada jejak rekam Anies sebagai tokoh, menurut Emrus, belum terlihat adanya tindakan atau perilaku politiknya yang menyimpang atau di luar batas. Apa yang dilakukan Anies masih dalam batas kewajaran.

"Apakah ada perilaku Anies yang melampaui tindakan tertentu. Menurut saya, sampai sekarang, belum," tegasnya.

Hal itu membuat Anies sangat mungkin untuk didukung oleh sejumlah partai politik. Kondisinya tentu berbeda, jika Anies kedapatan melanggar aturan atau melanggar konstitusi. 

Sejauh ini, Anies, kata Emrus, belum memiliki perilaku politik yang menyebabkannya melakukan kesalahan fatal.

"Saya tidak temukan," tegasnya.

Saat Pinusi.com menanyakan peluang Anies didukung oleh PDI Perjuangan untuk maju di Pilkada Jakarta, Emrus menyebut kemungkinan itu sangat terbuka. Hanya saja, ukurannya tidak bisa dikatakan tinggi, sedang atau kecil. Itu karena politik di Indonesia begitu dinamis. Hal tersebut sangat tergantung dari komunikasi di panggung belakang.

"Ada pertemuan titik kepentingnan politik, karena pilkada merupakan kepentingan politik," katanya.

Namun yang pasti, ujar Emrus,  jika akhirnya PDI Perjuangan mengusung Anies di Pilkada Jakarta, maka setidaknya ada 3 hal yang perlu disepakati. Pertama terkait titik temu yang membahas tentang tema kampanye dan tagline. Kedua, program yang ditawarkan dan ketiga terkait biaya politik.

Oleh karena itu, kompetisi yang ketat di Pilkada Jakarta merupakan hal yang sangat wajar, sepanjang kandidat yang diusung tidak melanggar etika, melanggar moral, dan tidak menabrak konstitusi.

"Saya melihat belum. Atau tidak ada sehingga bisa sangat cair," papar Emrus.

Ketika calon yang akan maju di pilkada ternyata berseberangan dengan parpol pendukung, di situ friksi akan muncul. Misalnya, ada parpol yang berupaya menegakkan konstitusi, namun di sisi lain ada kandidat yang dengan berbagai cara berupaya mengubah UU dalam waktu singkat.

Sebagai contoh, baru-baru ini baru MA memutuskan batasan umur kandidat yang akan berlaga adalah 30 tahun saat dilantik. Padahal di aturan sebelumnya disebutkan, harus berumur 30 tahun ketika mendaftar.

"Menurut saya, MA memutuskan seperti itu boleh, tetapi sebaiknya berlaku untuk 5 tahun yang akan datang. Sehingga setiap orang yang akan maju mendapat peluang yang sama, " terang Emrus.

Jika karena alasan muda, kata Emrus, mengapa batas usia tidak menjadi 25 tahun saja pas dilantik atau 25 tahun, syarat untuk didaftarkan. Karena itu, ia menilai tidak ada landasan akademik yang bisa dipertanggungjawabkan oleh MA saat memutus perkara tersebut.

"Tidak salah saya juga mempertanyakan kenegarawanan mereka," ujarnya.

Sejauh ini, Emrus tidak mengetahui siapa kandidat yang hendak diusung untuk maju di Pilkada Jakarta. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu tentu sudah matang, baik sebagai oposisi maupun saat berada di kekuasaan.

"Mereka pasti mempersiapkan itu, utamanya pemimpin daerah PDIP dan pimpinan pusat PDI Perjuangan akan mendiskusikan hal itu," katanya.

Khusus Pilkada Jakarta, Emrus menilainya sebagai sesuatu yang sangat menarik. Perhelatan tersebut jauh lebih menarik dibandingkan semua pilkada yang ada di Indonesia, termasuk jika nantinya di IKN Nusantara akan dilangsungkan pilkada.

"Jauh lebih menarik dibanding dengan pengangkatan kepala IKN atau gubernur IKN," ucapnya.

Hal serupa pasti dibaca oleh partai politik tentang siapa calon gubernur di Jakarta yang akan diusung.  Hal itu, kata Emrus, tidak bisa dilepaskan dari peran Jakarta sebagai pusat ekonomi.

"Mengapa? Karena 60 persen uang Indonesia berputar di Jakarta. Jadi dengan demikian, ini potensi loh. Potensi yang mereka perebutkan dari Jakarta," paparnya.

Atas dasar itu, partai politik melakukan kalkukasi politik yang sangat detail untuk memasangkan kandidat berdasarkan pertimbangan peluang menang kalah dan juga melihat siapa saja kompetitor yang berlaga.

"Misalnya kita melihat, calon yang diwacanakan di ruang publik adalah keponakan Prabowo yang dipasangkan dengan Kaesang, putra Presiden Jokowi. Dengan demikian, menarik untuk dilihat siapa yang akan menjadi kompetitornya," katanya.

Apakah Anies akan diusung oleh partai politik tertentu, karena sudah memiliki basis suara mengingat ia pernah memimpin Jakarta dengan segala keberhasilan dan kekurangannya.

"5 tahun memimpin sudah cukup untuk mengambil simpati masyarakat. Jadi kalau kita bicara komunikasi politik adalah bicara popularitas." terang Emrus.

Tidak diragukan, misalnya, popularitas Anies di Jakarta. Baru kemudian kesukaan masyarakat terhadap Anies. Semua itu, menurut Emrus, bisa diukur hanya melalui survei.

Setelah itu, elektabilitas Anies juga perlu diukur. Dengan demikian, ketika popularitas dan kesukaan terhadap seorang tokoh tidak diragukan, maka purchasing atau membeli atau voting behaviour biasanya akan tinggi. Itu artinya, seorang tokoh layak untuk diusung.

Namun disamping itu, Emrus mengingatkan bahwa dalam konteks komunikasi politik ada yang disebut dengan Top of mind.  Top of mind menjadi penting untuk mengukur seberapa familiar nama seorang tokoh beredar di masyarakat.

"Benarkah Anies sudah top of mind? Jika Anies sudah mencapai top of mind, maka peluang Anies untuk menang tinggi sekali. Tapi sekali lagi, jawabannya adalah survei" tegas Emrus.

Tetapi diatas top of mind, beber Emrus, masih ada lagi. Dan ini tidak ada dalam literatur, hanya ada di Indonesia. Pokok'e.

"Kalau sudah pokok'e, itu sudah diatasnya top of mind. Jadi sudah pasti menang dia itu. Saya kira itu pernah terjadi di Indonesia," tandasnya.



Editor: Jekson Simanjuntak

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook